Read more: http://pelajaran-blog.blogspot.com/2012/01/membuat-slideshow-photo-foto-berubah.html#ixzz1zfU3hDKj Dr. Dasman Yahya Ma'ali, Lc.,MA: Juli 2012

Kamis, 05 Juli 2012

KETIKA ORIENTALIS BICARA TENTANG NABI MUHAMMAD SAW


Dr. Dasman Yahya Ma’ali,Lc., MA

            Sesungguhnya Nabi kita Muhammad saw adalah manusia sempurna yang telah dipilih Allah SWT untuk menjadi suri tauladan, yang tidak memiliki cacat sedikitpun, yang ma`shum dari segala dosa dan hal-hal yang dapat merendahkan muru’ah. Oleh sebab itu, sejarah (sirah) kehidupan Beliau, dalam segala aspeknya tidak ada yang mesti disembunyikan dari khalayak. Semuanya pantas menjadi contoh dan diteladani, baik yang biasa tampak di hadapan umum, maupun hal-hal yang sangat khusus dalam rumah tangganya. Benarlah apa yang difirmankan Allah dalam Al-Quran:
[لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا]. الأحزاب: 21
“Sesungguhnya terdapat bagimu pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik; yaitu bagi orang yang mengharapkan bertemu dengan Allah dan hari akhirat, serta banyak berzikir kepada Allah”. QS. Al-Ahzaab: 21
            Saking terangnya sejarah hidup Beliau, tinggi dan luhurnya akhlaknya membuat orang-orang yang beriman kepadanya semakin merindukan bertemu dengannya. Hati mereka dipenuhi rasa ta`zhim kepadanya, cinta dan rindu berjumpa dengannya, walaupun untuk itu mereka harus berkorban apa saja yang mereka miliki. Sungguh suatu mu`jizat yang diberikan Tuhan kepadanya. Dalam hadits riwayat Abu Hurairah ra, Beliau bersabda:
(( مِنْ أَشَدِّ أُمَّتِيْ لِيْ حُبًّا نَاسٌ يَكُوْنُوْنَ بَعْدِيْ يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ رَآنِيْ بِأَهْلِهِ وَمَالِهِ )). رواه مسلم
Di antara umatku yang paling mencintaiku ialah orang-orang yang datang sesudahku; salah seorang mereka menginginkan seandainya ia dapat melihatku dengan keluarga dan hartanya”. H.R. Muslim
            Sejarah hidup Beliau yang terang, jelas, detail dan tanpa cacat ini adalah satu-satunya sejarah anak manusia yang tidak bisa ditutup-tutupi, walaupun usaha musuh-musuh Islam sepanjang sejarah untuk itu tidak pernah berhenti dan kenal lelah. Bagaimana mungkin menutup matahari dengan telapak tangan?! Mungkinkah menghilangkan aroma harum sirahnya yang telah memenuhi jagad raya ini?! Oleh karena itu, semua usaha untuk itu selalu berakhir gagal dan membuang-buang masa dan biaya. Selamanya akan ada orang yang membongkar kedok para musuh tersebut, dan tidak jarang pula dari kalangan mereka sendiri. Sebagai contoh, mari kita simak apa yang dikatakan oleh Philip Hitti berikut, “Di kalangan penulis zaman sekarang, ada segelintir orang yang hendak membuka pekerjaan-pekerjaan besar yang sukses dilakukan Muhammad saw, atau hendak menguraikan berdasarkan analisis kejiwaan, sehingga mereka tidak menambahkan melebihi apa yang mereka tambahkan kepada berbagai bentuk tuduhan dan ide-ide (pemikiran) kosong yang didasari hawa nafsu, selain hukum-hukum yang merupakan kebohongan ilmiah”.
            Apa yang dilakukan oleh penulis barat yang diisyaratkan Hitti di atas, adalah karena mereka tidak mendapatkan jalan untuk menutup-nutupi kebenaran sirah Nabi saw dari para pengikutnya, karena mereka dari kecil sudah menghapalkannya, khususnya di masa-masa umat Islam masih dekat dengan agamanya. Maka sebagai gantinya, mereka mencoba menyusupkan pemikiran beracun mereka dengan cara memberikan ulasan dan tafsiran terhadap beberapa sisi kehidupan Nabi saw sesuai dengan kondisi dan hawa mereka. Mereka lupa atau pura-pura tidak tahu, bahwa di samping ia sebagai syari`at yang diturunkan Allah kepada Beliau, ia juga mengandung hikmah-hikmah, baik yang mereka ketahui atau tidak.
            Di antara isu yang mereka angkat untuk menyudutkan dan mengecilkan kepribadian Nabi saw ialah masalah jumlah isteri Beliau yang melebihi kapasitas manusia biasa. Dari sini mereka merasa mendapatkan angin dan kesempatan untuk menyusupkan bibit fitnah yang akan menyesatkan umat manusia dan orang-orang yang lemah iman di kalangan umat Islam. Untuk menjawab syubuhat ini, baiklah kita berikan kesempatan kepada tokoh dari barisan mereka sendiri, yaitu Laura Vishia, untuk menjawabnya. Vishia mengungkapkan dengan panjang lebar tentang pernikahan Nabi saw dengan para isterinya itu serta hal-hal yang melatar belakanginya:
            “Sesungguhnya Muhammad Saw- sepanjang masa mudanya, di mana dorongan pelampiasan seksual berada pada puncak kekuatannya, dan meskipun ia hidup dalam masyarakat seperti masyarakat Arab, di mana pernikahan sebagai lembaga sosial sudah hilang atau hampir hilang, dan di mana hidup berpoligami merupakan prinsip dasar, sedangkan thalak dengan mudah sekali dijatuhkan, namun walaupun demikian, ia tidak menikah kecuali dengan seorang wanita saja, tidak lebih, yaitu Khadijah yang umurnya jauh lebih tua dari umurnya. Dan sesungguhnya ia selama dua puluh lima tahun, tetap setia menjadi suaminya yang tulus ikhlas mencintainya, dan selama itu pula ia tidak menikah untuk kedua kalinya, kecuali sesudah Khadijah wafat. Dan itu tatkala umurnya sudah mencapai lima puluh tahun. Sesungguhnya setiap pernikahannya itu mempunyai latar belakang sosial  atau politik, yaitu bermaksud dengan menikahi wanita-wanita itu untuk memuliakan wanita-wanita. yang memiliki sifat takwa, atau untuk membina hubungan perbesanan dengan keluarga-keluarga dan kabilah-kabilah lain guna merintis jalan baru menyebarkan Islam. Selain Aisyah, Muhammad tidak menikahi wanita-wanita yang masih perawan yang masih muda belia dan bukan pula yang cantik jelita. Nah, apakah itu berarti ia sebagai seorang syahwani (gila syahwat)?! Ia sungguh seorang lelaki, bukan Tuhan. Bisa saja yang melatarbelakangi pernikanhannya karena mengharapkan anak laki-laki, sebab anak laki-lakinya yang diberikan Khadijah semuanya meninggal dunia. Dan tanpa penghasilan yang banyak ia bangkit memikul beban keluarga besar. Akan tetapi, ia senantiasa istiqomah pada prinsip keadilan yang sempurna di antara isteri-isterinya, tidak pernah membeda-bedakan di antara mereka. Ia berlaku seperti para nabi dahulu, seperti Musa dan lain-lainnya, yang sepertinya tidak seorang manusiapun yang menentang pernikahan poligami mereka. Nah, apakah sebabnya karena kita tidak mengetahui detail kehidupan mereka sehari-hari, pada saat kita mengetahui segala sesuatu tentang kehidupan Muhammad dalam berkeluarga?!!”
            Penulis mengira pembaca dapat mencerna sendiri ungkapan di atas, sehingga tidak tersisa lagi keraguan untuk benar-benar mencintai Nabi kita Muhammad shallallahu `alaihi wasallam.



KERANCUAN ILMU PARA ILMUWAN



Dr. H. Dasman Yahya Ma’ali, Lc., MA

Suatu hari di ruang pascasarjana, di salah satu Universitas Islam Negeri terkemuka negeri ini, seorang mahasiswa program pasca sarjana mempresentasikan proposal tesis magisternya. Di depan sang guru besar pemikiran Islam itu, sang mahasiswa yang memang berlatar belakang pesantren dan pernah mengecap pendidikan di sebuah lembaga pendidikan Islam dan Arab di ibu kota, dengan pede-nya menjabarkan hasil awal penelitiannya. Sebagai calon tokoh pemikiran Islam, tentu yang dirujuk adalah buku-buku yang kebanyakan berlatar belakang bahasa Arab. Sang Profesor yang tidak terbiasa dengan literatur Arab (baca: Islam), kalau tidak mau dikatakan phobi dari awal terlihat tidak respek terhadap apa yang disampaikan mahasiswanya. Bukan karena penyampaian yang tidak menarik, atau tema yang tidak mengena atau kurangnya data dan referensi. Karena sang mahasiswa selain terkenal gigih dan rajin, ia juga merupakan seorang orator dan ahli retorika yang sudah dikenal di kalangan mahasiswa maupun masyarakat luas. Akan tetapi, yang membuat guru besar berang, adalah karena dari puluhan referensi                                                             yang  diikuti tidak satupun yang berasal dari pemikiran dan filsafat barat. Ditambah lagi, sang mahasiswa terhitung jarang menggunakan “istilah-istilah ilmiah”, setidaknya.. menurut sang guru besar. Sebaliknya sang mahasiswa lebih cenderung menggunakan istilah-istilah “Arab” yang asing menurut Profesor. Tanpa terasa, mahasiswa magister itu menyudahi presentasinya yang dikomentari dengan dingin dan ketus oleh guru besarnya. “Tulisan anda ini tidak pantas untuk sebuah karya ilmiah”, katanya. “Apa yang anda sebutkan, sepantasnya hanya sebagai bahan ceramah di surau-surau dan mushalla-mushalla”, sambungnya lagi.
Merasa jerih payahnya tidak dihargai, sang mahasiswa hendak menyampaikan pembelaannya. Namun, sang guru besar tidak memberinya kesempatan dan langsung menutup tatap muka. Suatu malam di pertengahan tahun 2006, seorang guru besar lainnya, menyampaikan pidato budaya di salah satu pusat kesenian dan budaya di ibu kota. Dengan dedikasi yang tinggi sebagai seorang guru besar dan kepiawaian menggunakan ”bahasa-bahasa ilmiah”, sang guru besar tampil memukau para undangan yang hadir. Lebih kurang dua setengah jam, beliau berpidato di depan para audien yang tetap fokus dan bertahan.
Namun, tidaklah demikian halnya dengan salah seorang undangan yang juga guru besar dan dekan Fakultas Psikologi di salah satu universitas terkemuka di ibu kota. Dalam ulasannya di Media Indonesia keesokan harinya, ia merasa keberatan dan tidak nyaman mendengar pidato budaya sang professor semalam. Beliau membandingkannya dengan pidato yang disampaikan di tempat yang sama pada tahun 1966. Budayawan dan pujangga kebanggaan Indonesia, Mukhtar Lubis, pujangga kelahiran Padang itu, menyampaikan pidato budayanya dengan Bahasa Indonesia yang mengalir dan mencair, yang memang kaya dengan khazanah bahasan dan sastra. Istilah-istilah yang dipakainya benar-benar merefleksikan budaya Indonesia yang asli. Sebaliknya, Pidato Budaya sang guru besar 2006 tersebut, sarat dengan “istilah-istilah ilmiah” (bahasa asing) yang sama sekali tidak menyentuh esensi budaya murni Indonesia kita. Saking asyiknya dengan “istilah-istilah ilmiah” itu, sehingga bahasa Indonesia yang budayanya menjadi subjek pidato, tidak begitu terlihat. Yang dominan adalah “bahasa ilmiah”. Menurut asumsi sang Dekan, sang professor banyak sekali meletakkannya bukan pada tempatnya. Oleh sebab itu, sang Dekan sedikit ekstrim menilai, bahwa sang profesor kemungkinan belum begitu memahami istilah-istilah yang dikatakannya itu.
            Seorang teman keluaran S3 di sebuah universitas terkenal di Timur Tengah, tatkala penulis tanyakan apa tidak bercita-cita pula menjadi profesor? Sang teman dengan sedikit kesal menyatakan, sulit rasanya diterima bila hanya mengandalkan literatur-literatur Arab (baca: Islam ). Tim penilai tidak akan merekomendasikan tulisan yang bukan dominan menggunakan “istilah-istilah ilmiah” tersebut.
Itulah sebagian dari fenomena kerancuan ilmu sebagian para ilmuwan. Apa yang penulis sebutkan, bukanlah sebuah ilustrasi. Namun, ia adalah kenyataan dan fenomena yang boleh dikatakan umum di kalangan kaum akademisi. Demam “istilah-istilah ilmiah” menjangkiti hampir semua level kaum akademisi kita. Rasanya, belum percaya diri apabila dalam pembicaraan dan forum tidak menggunakan istilah-istilah asing tersebut. walaupun istilah aslinya (Islam) lebih mencakup dan lebih mendalam pemahamannya.
            Nah, yang mengkhawatirkan penulis adalah runtuhnya Bahasa Indonesia Raya yang kaya raya ini oleh anak-anaknya sendiri. Kalau begini kondisinya, tidak mustahil, bahasa dan logat Indonesia yang jumlahnya di atas angka 700, satu persatu akan punah, sehingga bangsa ini akan kehilangan identitasnya. Dahulu dikatakan “Bahasa adalah identitas bangsa”.  Mau kemana kita???