Dr.
H. Dasman Yahya Ma’ali, Lc., MA
Suatu hari di ruang
pascasarjana, di salah satu Universitas Islam Negeri terkemuka negeri ini,
seorang mahasiswa program pasca sarjana mempresentasikan proposal tesis
magisternya. Di depan sang guru besar pemikiran Islam itu, sang mahasiswa yang memang berlatar belakang pesantren dan pernah mengecap pendidikan di
sebuah lembaga pendidikan Islam dan Arab di ibu kota, dengan pede-nya
menjabarkan hasil awal penelitiannya. Sebagai calon tokoh pemikiran Islam,
tentu yang dirujuk adalah buku-buku yang kebanyakan berlatar belakang bahasa
Arab. Sang Profesor yang tidak terbiasa dengan literatur Arab (baca: Islam), kalau tidak mau
dikatakan phobi dari awal terlihat tidak
respek terhadap apa yang disampaikan mahasiswanya. Bukan karena penyampaian
yang tidak menarik, atau tema yang tidak mengena atau kurangnya data dan
referensi. Karena sang mahasiswa selain terkenal gigih dan rajin, ia juga
merupakan seorang orator dan ahli retorika yang sudah dikenal di kalangan
mahasiswa maupun masyarakat luas. Akan tetapi, yang membuat guru besar berang,
adalah karena dari puluhan
referensi
yang diikuti tidak satupun
yang berasal dari pemikiran dan filsafat barat. Ditambah lagi, sang mahasiswa
terhitung jarang menggunakan “istilah-istilah ilmiah”, setidaknya..
menurut sang guru besar. Sebaliknya sang mahasiswa lebih cenderung menggunakan
istilah-istilah “Arab” yang asing menurut Profesor. Tanpa terasa, mahasiswa
magister itu menyudahi presentasinya yang dikomentari dengan dingin dan ketus
oleh guru besarnya. “Tulisan anda ini tidak pantas untuk
sebuah karya ilmiah”, katanya. “Apa yang
anda sebutkan, sepantasnya hanya sebagai bahan ceramah di surau-surau dan
mushalla-mushalla”, sambungnya lagi.
Merasa jerih payahnya tidak
dihargai, sang mahasiswa hendak
menyampaikan pembelaannya.
Namun, sang guru besar tidak memberinya kesempatan dan langsung menutup tatap
muka. Suatu malam di pertengahan tahun 2006, seorang guru besar lainnya, menyampaikan
pidato budaya di salah satu pusat kesenian dan budaya di ibu kota. Dengan
dedikasi yang tinggi sebagai seorang guru besar dan kepiawaian
menggunakan ”bahasa-bahasa ilmiah”, sang guru besar tampil memukau para
undangan yang hadir. Lebih kurang dua setengah jam, beliau berpidato di depan para
audien yang tetap fokus dan bertahan.
Namun, tidaklah demikian halnya
dengan salah seorang undangan yang juga guru besar dan dekan Fakultas Psikologi
di salah satu universitas terkemuka di ibu kota. Dalam ulasannya di Media
Indonesia keesokan harinya, ia merasa keberatan dan tidak nyaman mendengar
pidato budaya sang professor semalam. Beliau membandingkannya dengan pidato
yang disampaikan di tempat yang sama pada tahun 1966. Budayawan dan pujangga
kebanggaan Indonesia, Mukhtar Lubis, pujangga kelahiran Padang itu, menyampaikan pidato budayanya dengan Bahasa
Indonesia yang mengalir dan mencair, yang memang
kaya dengan khazanah bahasan dan sastra. Istilah-istilah yang dipakainya
benar-benar merefleksikan budaya Indonesia yang asli. Sebaliknya, Pidato Budaya
sang guru besar 2006 tersebut, sarat dengan “istilah-istilah ilmiah” (bahasa asing)
yang sama sekali tidak menyentuh esensi budaya
murni Indonesia kita. Saking asyiknya dengan “istilah-istilah ilmiah” itu,
sehingga bahasa Indonesia yang budayanya menjadi subjek pidato, tidak begitu
terlihat. Yang dominan adalah “bahasa ilmiah”. Menurut asumsi
sang Dekan, sang professor banyak sekali meletakkannya bukan pada tempatnya. Oleh sebab itu, sang Dekan sedikit ekstrim
menilai, bahwa sang profesor kemungkinan belum begitu memahami istilah-istilah
yang dikatakannya itu.
Seorang teman keluaran S3 di sebuah universitas terkenal di Timur Tengah, tatkala penulis tanyakan apa
tidak bercita-cita pula menjadi profesor? Sang teman dengan sedikit kesal
menyatakan, sulit rasanya diterima bila hanya mengandalkan literatur-literatur
Arab (baca: Islam ). Tim penilai tidak akan
merekomendasikan tulisan
yang bukan dominan menggunakan “istilah-istilah ilmiah” tersebut.
Itulah sebagian dari fenomena
kerancuan ilmu sebagian para ilmuwan. Apa
yang penulis sebutkan, bukanlah sebuah ilustrasi. Namun, ia adalah kenyataan
dan fenomena yang boleh dikatakan umum di kalangan kaum akademisi. Demam “istilah-istilah
ilmiah” menjangkiti hampir semua level kaum akademisi kita. Rasanya,
belum percaya diri apabila dalam pembicaraan dan forum tidak
menggunakan istilah-istilah asing tersebut. walaupun istilah aslinya (Islam)
lebih mencakup dan lebih mendalam pemahamannya.
Nah, yang mengkhawatirkan penulis adalah runtuhnya Bahasa Indonesia Raya
yang kaya raya ini oleh anak-anaknya sendiri. Kalau begini kondisinya, tidak
mustahil, bahasa dan logat Indonesia yang jumlahnya di atas angka 700, satu
persatu akan punah, sehingga bangsa ini akan kehilangan identitasnya.
Dahulu dikatakan “Bahasa adalah identitas bangsa”. Mau kemana kita???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar